Hukum Shalat Jumat di Perkantoran

Bincang Syariah

BincangSyariah.Com– Salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seluruh umat muslim laki-laki adalah melaksanakan shalat Jumat. Tetapi, akibat kesibukan dan jadwal kerja yang padat membuat sebagian kantor mendirikan sendiri shalat Jumat di lingkungannya masing-masing. Lantas, bagaimanakah hukum mengadakan shalat Jum’at di perkantoran?

Hukum Shalat Jumat di Perkantoran

Dalam literatur kitab fikih, terdapat keterangan yang menyatakan bahwa shalat Jumat tidak harus dilaksanakan di masjid. Sehingga, seseorang diperbolehkan untuk mendirikan shalat Jumat di tempat lainnya semisal di kantor. 

Sebagaimana dalam kitab Thorkhut Tatsrib, juz 3, halaman 190 berikut;

مذهبنا ) أي : مذهب الشافعية ( أن إقامة الجمعة لا تختص بالمسجد . بل تقام في خطة الأبنية : فلو فعلوها في غير مسجد لم يُصل الداخل إلى ذلك الموضع في حالة الخطبة ، إذ ليست له تحية

Artinya :Dalam madzhab syafii mendirikan sholat jum’at tidak harus di masjid, melainkan boleh di bangunan-bangunan lainnya. Tetapi, apabila sholat jum’at tidak dilaksanakan di masjid, maka apabila seseorang masuk di tempat itu di waktu khutbah, dia tidak diperbolehkan sholat tahiyat masjid.

Namun demikian, kebolehan melaksanakan shalat Jumat di kantor harus memenuhi beberapa syarat dan rukun pelaksanaan shalat Jumat. Termasuk diantaranya adalah harus dilaksanakan dalam satu tempat dan tidak boleh mengadakan shalat Jumat lain, kecuali adanya kebutuhan, semisal sulitnya berkumpul di satu tempat tertentu. 

Sebagaimana dalam keterangan kitab as-Syarqawi berikut,

وخامسها أن لا يسبقها بالتحرم ولا يقارنها فيه جمعة أخرى بمحلها الا ان عسر اجتماع الناس بمكان

Artinya : “Syarat yang kelima adalah harus tidak didahului atau bersamaan dengan takbiratul ihram shalat jum’at lain kecuali sulitnya berkumpul di satu tempat.

Shalat jumat juga harus dihadiri oleh 40 orang yang berstatus muqim mustauthin. Mereka adalah penduduk tetap yang tinggal di perumahan tempat berdirinya shalat jum’at, dan tidak ada niatan untuk pergi ke tempat lain kecuali dalam kondisi tertentu. 

Apabila shalat Jumat didirikan oleh sekumpulan orang yang bukan penduduk asli tempat itu maka shalat Jumatnya tidak dihukumi sah. Hal ini sebagaimana dalam keterangan kitab Majmu’ Syarah Muhaddab, juz 4, halaman 420 berikut,

وأما قول المصنف (هل تنعقد بمقيمين غير مستوطنين ؟) فيه وجهان مشهوران أصحهما لا تنعقد، اتفقوا على تصحيحه، ممن صححه المحاملي وإمام الحرمين والبغوي والمتولي وآخرون، 

Artinya : “Adapun perkataan mushannif (Apakah shalat jum’at bisa jadi dengan penduduk yang tidak Mustautin) Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang masyhur. Pendapat dianggap paling benar mengatakan bahwa shalat jumatnya tidak jadi, ulama telah sepakat mengenai hukum ini termasuk diantaranya Mahamily, Imam Haramain, al-Bungayi, al-Mutawally, dan lainnya.

Namun demikian, pegawai kantor yang tidak berdomisili di tempat itu masih tetap dikenai kewajiban melaksanakan shalat Jumat. Hal ini karena mereka termasuk seseorang yang dianggap sah shalat Jumat meskipun tidak dapat menjadikan shalat Jumat. 

Sebagaimana dalam keterangan kitab I’anah Al-Tholibin, juz 2, halaman 54 berikut, 

واعلم) أن الناس في الجمعة ستة أقسام: أولها: من تجب عليه، وتنعقد به، وتصح منه، وهو من توفرت فيه الشروط كلها. وثانيها: من تجب عليه، ولا تنعقد به، وتصح منه، وهو المقيم غير المستوطن، ومن سمع نداء الجمعة، وهو ليس بمحلها. 

Artinya : “ketahuilah bahwasanya terdapat enam klasifikasi orang dalam sholat jum’at. Pertama, seorang yang wajib melaksanakan, dapat menjadikan  dan sah sholatnya. Dia adalah seseorang yang telah terpenuhi semua syarat-syaratnya. 

Kedua seorang yang wajib melaksanakan shalat Jumat, tidak dapat menjadikan tapi tetap sah shalat jumatnya mereka adalah seorang yang mukim dan tidak mustauthin dan orang yang mendengar suara nida’ jum’at sementara dia tidak berada ditempat itu.”

Sementara itu, menurut mazhab Hanafi hukum melaksanakan shalat Jumat di komplek perkantoran atau pabrik tetap sah dan boleh, meskipun mayoritas karyawan  yang bekerja di tempat tersebut bukan penduduk setempat [asli].

Pasalnya, dalam Al-Qur’an, yang menjadi syarat  Jumat ialah harus dilaksanakan dengan berjamaah saja–tanpa mensyaratakan jamaahnya jumat itu orang yang berdomisili atau mustauthin (penduduk setempat).

Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Ismail Zain Al-Yamani dalam  Qurratul ’Ain bi Fatawa Isma’il Az-Zain, halaman 87 berikut:  

 وَهَو مَا ذَهَبَ اِلَيْهِ جُمْهُوْرُ الْفُقَهَاءِ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ، وَذَهَبَ الْأَحْنَافُ إلَى صِحَّةِ إِقَامَةِ الْجُمُعَةِ بِالْمُقِيْمِيْنَ اَلْمُسَافِرِيْنَ لِأَنَّ اْلإسْتِيْطَانَ لَيْسَ شَرْطًا عِنْدَهُمْ   

Artinya: “Ketetapan ini (tidak sahnya shalat Jumat) berlaku bilamana merujuk pada pendapat mayoritas ulama mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Sedangkan menurut para ulama mazhab Hanafi, mereka berpendapat bahwa shalat Jumat dapat sah dengan orang-orang mukim (berdomisili) walaupun berstatus musafir, sebab berdomisili bukan merupakan syarat sah melaksanakan shalat Jumat menurut mereka.”

Kesimpulan 

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa mendirikan shalat Jumat di kantor dapat dihukumi sah apabila terdapat adanya kebutuhan untuk mendirikan shalat Jumat sendiri di lingkungan tersebut, seperti sulitnya untuk berkumpul dengan penduduk sekitar di satu tempat. 

Demikian penjelasan mengenai hukum mengadakan shalat Jumat di perkantoran. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.  [Baca juga:Hukum Makmum Shalat Jumat di Depan Imam ]

The post Hukum Shalat Jumat di Perkantoran appeared first on BincangSyariah | Portal Islam Rahmatan lil Alamin.

Baca Selengkapnya...