BincangSyariah.Com– Assalamualaikum WR WB. Mohon bertanya pada Redaksi Bincang Syariah.Com tentang hukum khatib yang tidak membaca shalawat saat khutbah kedua. Mengingat khatib juga manusia yang terkadang lupa atau gugup sehingga pembacaan shalawat kadang terlewati . Bagaimana khatib yang tidak membaca shalawat pada khutbah kedua, apakah sah? [Kamal Fahlevi/Bandung]
Jawaban
Walaikumsalam WR WB. Terimakasih atas pertanyaan yang diajukan. Semoga jawaban ini menjadi solusi dan bermanfaat. Sebelumnya, dalam pembacaan khutbah jumat baik khutbah pertama dan kedua memiliki syarat dan rukun yang harus terpenuhi. Bila rukun-rukun tidak terpenuhi maka akan berkonsekuensi terhadap keabsahan khutbah sekaligus sholat jumatnya.
Adapun hukum membaca shalawat pada khutbah kedua ulama masih berbeda pendapat apakah termasuk rukun sehingga tidak sah membaca khutbah tanpa shalawat, atau sekdar sunah sehigga tetap sah khutbah jumat meski tidak membaca shalawat.
Pertama, dalam mazhab Syafi’iyah yang banyak dianut umat muslim Indonesia, shalawat dalam khutbah kedua hukumnya wajib karena termasuk rukun. Oleh sebab itu, bila shalawat tidak dibaca dalam khutbah maka khutbahnya tidak sah. Demikian pula pendapat yang kuat dari kalangan Hanabilah menempatkan shalawat sebagai rukun.
Imam Nawawi dalam kitab Minhāj al-Thālibīn menyatakan:
وَأَرْكَانُهُمَا خَمْسَةٌ: حَمْدُ اللَّهِ تَعَالَى وَالصَّلاَةُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَفْظُهُمَا مُتَعَيِّنٌ وَالْوَصِيَّةُ بِالتَّقْوَى وَلَا يَتَعَيَّنُ لَفْظُهَا عَلَى الصَّحِيحِ وَهَذِهِ الثَّلاَثَةُ أَرْكَانٌ فِي الْخُطْبَتَيْنِ
Artinya: “Adapun khutbah Jumat, terdapat dua khutbah sebelum shalat, dan rukun-rukun khutbah ada lima: pertama, memuji Allah; kedua, bershalawat kepada Rasulullah SAW; ketiga, nasihat tentang takwa; dan 3 rukun ini harus terlaksana pada dua khutbah (Imam Nawawi, Minhaj al-Talibin, [Dar al-Fikr, cet: 1 tahun: 2005 M], halaman: 48)
Ibnu Qudamah dari kalangan Hanabilah dalam Al-Mughni menyatakan:
ويُشْتَرَطُ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ منهما حَمْدُ اللهِ تعالى، والصَّلَاةُ على رسولِه -صلى اللَّه عليه وسلم-؛
Artinya: “Diperlukan dalam setiap khutbah untuk memulai dengan pujian kepada Allah dan shalawat atas Rasulullah SAW, (Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni, [Dar al-Alam al-Kutub Riyadh – Arab Saudi, cet: 3 tahun 1997], juz 3 hal. 173).
Dalil yang diajukan kalangan Syafi’iyah sebagai landasan kewajiban membaca shalawat dalam khutbah kedua yaitu analogi kepada azan dan shalat. Di mana setiap kali Allah disebut, maka Nabi Muhammad juga disebutkan. . (Muhammad Khatib as-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, [Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah – Bairut, cet: 1, 1997], juz. 1 hal. 550).
Selain itu, hadis Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah juga menjadi dalilnya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ – «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: وَجَعَلْتُ أُمَّتَكَ لَا تَجُوزُ عَلَيْهِمْ خُطْبَةٌ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنَّك عَبْدِي وَرَسُولِي».
Artinya: “Dari Abu Hurairah – semoga Allah meridhainya – bahwa Nabi – bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: ‘Aku menjadikan umatmu tidak akan diterima khutbah mereka hingga mereka bersaksi bahwa engkau adalah hamba-Ku dan Rasul-Ku.” (HR. Al-Baihaqi).
Sedangkan kalangan Hanabilah selain dianalogikan, juga berargumentasi bahwa ketika Allah disebutkan maka Nabi juga disebutkan sebagaimana dalam penafsiran (QS. Asy-Syarh: 1-4).
عَنْ مُجَاهِدٍ، فِي قَوْلِهِ: {وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ} [الشرح: ٤] لَا أُذْكَرُ إِلَّا ذُكِرْتَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
Artinya: “Dari Mujahid tentang firman Allah QS. asy-Sarh: 4, “Aku (Allah) tidak disebutkan kecuali Engkau (Nabu Muhammad) disebutkan bersama-Ku. Aku bersaksi tiada Tuhan kecuali Allah dan Aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah” (HR. Al-Baihaqi).
Maka menurut kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah bila khatib tidak membaca shalawat, maka khutbah dianggap tidak sah. Karena shalawat dalam khutbah, baik pertama dan kedua, adalah rukun yang tak bisa ditinggalkan.
Kedua, mazhab Hanafi berpendapat bahwa shalawat bukanlah rukun khutbah, melainkan sunah yang berfungsi sebagai penyempurna. Karena yang paling pokok dalam khutbah adalah zikir atau mengingat Allah. Dalam kitab Al-Binayah Syarh Al-Hidayah, Badruddin Al-‘Aini, menyebutkan:
فَإِنِ اقْتَصَرَ عَلَى ذِكْرِ اللهِ جَازَ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ – رَحِمَهُ اللهُ –
ش: إِطْلَاقُ كَلَامِهِ يَقْتَضِي أَنْ يَجُوزَ بِمُجَرَّدِ قَوْلِ اللهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُقْرِنَ بِهِ شَيْئًا كَالْحَمْدِ وَسُبْحَانَ اللهِ، لِأَنَّهُ ذِكْرُ اللهِ، وَلَكِنَّ الرِّوَايَةَ فِي “المَبْسُوطِ” وَغَيْرِهِ أَنَّهُ إِذَا خَطَبَ بِتَسْبِيحَةٍ وَاحِدَةٍ أَوْ بِتَهْلِيلٍ أَوْ بِتَحْمِيدٍ أَجْزَأَهُ فِي قَوْلِهِ
Artinya: “Jika khatib hanya menyebut nama Allah (ذِكْرِ اللهِ) dalam khutbahnya, hal itu dianggap cukup menurut Imam Abu Hanifah – semoga Allah merahmatinya. Pernyataan ini secara umum menunjukkan bahwa cukup hanya dengan mengucapkan ‘Allah’ tanpa harus menyertakan kalimat lainnya seperti ‘Alhamdulillah’ atau ‘Subhanallah’, karena itu sudah termasuk zikir kepada Allah. Namun, menurut riwayat dalam kitab Al-Mabsuth dan lainnya, apabila khatib berkhutbah hanya dengan satu kali tasbih (‘Subhanallah’), atau tahlil (‘La ilaha illallah’), atau tahmid (‘Alhamdulillah’), maka itu sudah dianggap cukup dalam pandangannya (Imam Abu Hanifah).” (Badruddin Al-‘Aini, Al-Binayah Syarh Al-Hidayah, [Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah – Beirut, Lebanon cet: 1 tahun 2000 M], juz 3 hal. 58).
Selain Hanafiyah, Mazhab Malikiyah menurut pendapat yang masyhur, juga berpendapat shalawat adalah sunah yang sangat dianjurkan dalam khutbah. Karena rangkaian dalam khutbah adalah perkataan apapun yang oleh orang Arab dianggap khutbah sebagaimana riwayat dari Ibnu al-Qasim. Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Quwaitiyah, juz 19, halaman 177 disebutkan.
أَمَّا الْمَالِكِيَّةُ فَيَرَوْنَ أَنَّ رُكْنَهَا هُوَ أَقَل مَا يُسَمَّى خُطْبَةً عِنْدَ الْعَرَبِ وَلَوْ سَجْعَتَيْنِ، نَحْوُ: اتَّقُوا اللَّهَ فِيمَا أَمَرَ، وَانْتَهُوا عَمَّا عَنْهُ نَهَى وَزَجَرَ.
“Menurut mazhab Maliki, rukun khutbah adalah sekurang-kurangnya apa yang disebut sebagai khutbah oleh orang Arab, bahkan jika hanya terdiri dari dua kalimat yang berirama (saj’), seperti “Bertakwalah kepada Allah dalam hal yang Dia perintahkan, dan jauhilah apa yang Dia larang dan cegah.”
Wahbah As-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhu Al-Islami Wa Adillatuhu, juz 2 halaman 1305 mengatakan terkait khutbah dalam kalangan Malikiyah.
وندب ثناء على الله، وصلاة على نبيه، وأمر بتقوى، ودعا بمغفرة وقراءة شيء من القرآن،
“Disunahkan memuji Allah dan shalawat atas Nabi-Nya, memerintahkan nasehat takwa, mendoakan ampun dan membaca ayat Al-Qur’an”.
Argumentasi dari Hanafiyah yaitu ayat Al-Qur’an dan juga praktiknya Sayyidina Utsman yang dianggap konsensus.
{فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ} [الجمعة: 9]
Artinya: “Maka bersegeralah kalian menuju zikir (mengingat) Allah…”(QS. Al-Jumu’ah: 9)
Menurut kalangan Hanafiyah, lafal “dzikir Allah” yang terdapat dalam ayat bermakna khutbah dan statusnya lafalnya mutlak sehingga diberlakukan kemutlakannya. Yaitu khutbah tanpa membedakan antara sedikit atau banyak. Apakah membaca shalawat ataupun tidak.
Selain itu juga ada riwayat bahwa ketika Utsman naik mimbar pada Jumat pertama yang dia pimpin, beliau berkata: “Alhamdulillah,” kemudian beliau terdiam (yaitu, terhenti berbicara), lalu turun dan shalat. Kejadian ini disaksikan oleh para ulama sahabat, namun tidak ada yang mengingkari perbuatannya. Hal ini menunjukkan bahwa cukup dengan mengatakan kalimat tersebut. (Ala’ al-Din Abu Bakr bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Bada’i’ al-Sana’i’ fi Tartib al-Shara’i’, [Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah – Bairut cet: 1 2006], juz 1 hal. 238).
Kesimpulan
Dari paparan di atas, maka kasus khatib tidak membaca shalawat pada khutbah kedua, bisa dipetakan sebagai berikut:
1. Menurut Mazhab Syafi’i dan Hanbali, khutbah kedua tanpa membaca shalawat dianggap tidak sah, yang berdampak pada ketidakabsahan khutbah secara keseluruhan serta ketidakabsahan shalat Jumat.
2. Menurut Mazhab Maliki dan Hanafi, khutbah kedua tetap sah meskipun tanpa shalawat, namun sebaiknya tetap dibaca untuk kesempurnaan khutbah.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang mayoritas mengikuti Mazhab Syafi’i, bila khatib lupa membaca shalawat dalam khutbah, lalu ingat ketika masih di mimbar atau sudah turun tapi belum lama waktunya maka hendak langsung membaca shalawat tersebut. Hal ini karena tidak ada syarat tertib yang harus dilakukan dalam rukun-rukun khutbah tersebut.
The post Hukum Khatib Tidak Membaca Shalawat Saat Khutbah Kedua, Sahkah? appeared first on BincangSyariah | Portal Islam Rahmatan lil Alamin.